Saksi Bisu Ranjang Pembantu ...

Saksi Bisu Ranjang Pembantu ...


"Sri, kalau di rumah tolong pakaiannya lebih sopan, ya. Di rumah kan ada Bapak sama mas Gema, kurang pantas kalau kamu pakai baju seperti itu,"
ujarku menegur Sri, asisten rumah tangga yang baru bekerja di rumahku dua bulan belakangan.
 
Ada gurat tidak suka dalam ekspresinya, tapi dengan cepat dia menutupinya dengan senyum dan anggukan sopan. Bukan tanpa alasan aku menegurnya seperti ini, baju yang di kenakan Sri sangat ketat, ada kancing yang terbuka di bagian atas, hingga saat dia sedikit menunduk membuat buah dadanya terlihat dengan leluasa.
 
Beberapa kali aku memergoki Gema, anak sulungku mencuri pandang pada Sri. Usia mereka memang tidak beda jauh, Gema 21 tahun sedangkan Sri 26 tahun. Tidak bisa di pungkiri, tubuh ARTku itu memang padat berisi, sehingga menonjolkan beberapa bagian tubuhnya yang membuat mata laki-laki akan langsung menatap takjub pada kemolekannya. Tapi sebenarnya hal itu bisa diakali kalau saja Sri mengenakan baju yang lebih longgar dan sopan.
 
Selain masalah pakaian, Sri tidak memiliki kekurangan apapun dalam hal pekerjaan. Dia cekatan dan sangat rapi, semua debu di rumah ini tak luput dari pandangannya.
 
"Nanti ke kamar saya, ya. Ada beberapa baju saya yang masih bagus, bisa kamu pakai sebagai ganti. Nanti bajumu yang sudah kekecilan itu dibuang saja," ucapku sebelum pergi dari dapur meninggalkan Sri yang sedang mencuci piring bekas kami sarapan.
 
"Iya, Bu," jawabnya singkat.
 
Biarlah dia tersinggung, yang penting aku sudah mengingatkan apa yang seharusnya dia lakukan, gumamku dalam hati.
 
Aku berjalan menghampiri mas Danu di ruang TV. Hari ini weekend, jadi semua anggota keluarga di rumah saja untuk quality time.
 
"Gema sama Jesna mana, Mas?" tanyaku saat mendapati Mas Danu sedang menonton TV sendirian tanpa putra-putri kami.
 
"Oh, Jesna lagi ke kamar ngerjain tugas. Kalau Gema mau mandi katanya. Mama nggak belanja?" tanya mas Danu kemudian.
 
"Belanja nanti sore aja, Mas. Sekalian mau ngantar obat ke rumah Ibu, temenin ya?" Aku mengambil posisi duduk tepat di samping mas Danu, lalu bergelayut manja di lengannya bak jaman pacaran dulu.
 
Usia kami boleh tua, tapi hubungan kami masih hangat layaknya awal menikah. Kami memutuskan untuk menikah muda saat usiaku masih 20 tahun, sedangkan mas Danu 22 tahun. Pernikahan kami sudah berjalan hampir 23 tahun lamanya.
 
"Suruh Sri aja yang belanja, Ma. Nanti sore kita makan diluar aja bareng anak-anak. Nih Papa mau ketemu temen sebentar, nanti Sri biar Papa drop di swalayan yang biasanya," 
 
"Okedeh. Bentar Mama buat catatan belanja dulu buat Sri," 
 
Mas Danu memang begitu, sering mengajakku dan anak-anak makan di luar untuk sekedar refreshing atau sekalian belanja apapun yang kami mau. Pekerjaan mas Danu sebagai Developer cluster membuat uang terus mengalir ke rekening kami.
 
Setelah selesai membuat list belanjaan, akupun berjalan menghampiri Sri di kamarnya. Pintu kamarnya yang sedikit terbuka memperlihatkan Sri yang sedang memegang sebuah lingerie hitam dengan list merah di bagian dada.
 
Dengan wajah sumringah dia mengamati lingerie yang sedang dia pegang.
 
Mataku melotot untuk memastikan kalau baju yang ditangannya itu benar-benar lingerie. Untuk apa anak gadis seperti dia menyimpan baju yang seharusnya hanya dimiliki perempuan yang sudah bersuami? Apa Sri punya pacar? Tapi bukankah hampir 7x24 jam Sri hanya berada di rumah ini?
 
"Sri, kamu ngapain nyimpen baju kaya gitu?" Akupun membuka pintu kamar Sri tanpa permisi. Seperti melihat hantu, wajah Sri berubah pucat pasi, dia langsung menyembunyikan gaun malam itu di balik punggungnya.
 
"Kamu nyimpen baju kaya gitu buat apa?" tanyaku saat tak mendapati jawaban apapun dari Sri.
 
"Eh-anu, Bu, ini bukan punya saya. Ini punya Kakak saya di kampung. Nggak sengaja kebawa kesini," ucap Sri gugup. Keringat sebesar biji jagung menghiasi wajah putih nan moleknya.
 
Melihat gelagat mencurigakan dari Sri, akupun tak mungkin percaya begitu saja.
 
"Sini biar saya lihat!" Tanpa ragu, akupun merampas baju itu dari tangannya. Setelah melihat kualitas kain dan nama brandnya, aku yakin baju ini bukan milik saudaranya di kampung. Brand lingerie kenamaan ini sangat tidak mungkin di miliki oleh orang seperti keluarga Sri. Bahkan untuk satu potong lingerie saja harganya bisa sampai jutaan.
 
"Kembalikan, Bu! Ini punya Kakak saya." Sri menarik lingerie yang ku pegang hingga membuatku sedikit tersentak. Akupun mengamati sekeliling kamar Sri, mataku tertuju pada kotak kecil berwarna biru di tempat sampah. Meskipun hanya dua huruf belakang yang bisa terlihat olehku, tapi aku yakin itu adalah bungkus kontrasepsi.
 
Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan Sri? Gumamku dalam hati.
 
"Ibu tadi mau nyuruh saya apa?" tanya Sri sopan. Hanya berselang beberapa menit saja, sikapnya sudah berubah kembali. Padahal tadi saat menarik lingerie yang ku pegang dia seperti orang kesetanan.
 
"Tolong kamu belanja di swalayan biasa, bareng Bapak. Ini list belanjaannya." Ku sodorkan secarik kertas bertuliskan keperluan rumah yang sudah habis. "Jangan lupa ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan," ucapku sebelum keluar kamar.
 
Ada yang mencurigakan dari Sri, tapi aku tak punya bukti selain hanya sebuah lingerie yang belum tentu miliknya dan bungkus alat kontrasepsi di tempat sampah. Sri tidak pernah kemana-mana, dia hanya bekerja seharian dan malamnya istirahat di kamar. Dia tidak pernah izin kemanapun dan aku tak pernah melihatnya keluar rumah selain untuk belanja.
 
Apakah Sri ada main dengan tukang kebun, si mang Eeng? Atau Gema? Atau malah mas Danu? Mengingat dirumah ini yang laki-laki hanya mereka bertiga.
 
Astaghfirullahhaldzim ... mikir apa aku ini? Belum tentu juga barang itu milik Sri, tapi otakku sudah suudzon saja.
 
"Sri udah dibilangin, Ma?" tanya mas Danu yang baru saja menuruni anak tangga.
 
"Sudah, Mas. Nanti ketemu temennya jangan lama-lama loh ... ini kan sudah jam sembilan, usahakan sebelum jam sebelas sudah pulang ya. Sri belum selesai nyetrika baju soalnya," 
 
"Siap Ibu Negara," jawab mas Danu sambil mengecup pipiku sekilas.
 
Setelah mas Danu dan Sri berangkat, aku pergi ke kamar Sri untuk mengecek barang-barangnya. Kesempatan ini harus gunakan sebaik mungkin untuk memperjelas kecurigaanku. Kalau benar Sri ada main dengan salah satu laki-laki di rumah ini, aku akan langsung memecatnya, meskipun yang berhubungan dengannya adalah mang Eeng, karena aku tak ingin ada perzinahan dirumah ini.
 
Aku mengawali pencarianku dari meja rias, tak ada yang aneh. Hanya ada lipstik, bedak, parfum serta handbody. Beralih ke laci, akupun memeriksa satu per satu benda di dalamnya, sekali lagi tak ada yang aneh. Semua tampak normal.
 
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, hingga mataku tertuju pada keranjang baju kotor disudut kamar, ada celana dalam laki-laki berwarna cokelat ...
 
Celana dalam itu ....
 
Dadaku bergemuruh hebat. 
 
"Kamu berhutang banyak penjelasan padaku, Sri," gumamku pelan. 
 
Bersambung ....