Benarkah Puasa Rajab itu Bid'ah ?
Artikel Kitab Elektronik
Padahal sebenarnya para ulama masih
berbeda pendapat tentang hukum berpuasa di bulan Rajab. Sebagian
kalangan menetapkan bahwa hukumnya sunnah, sebagian lagi bilang makruh
dan ada juga yang bilang haram atau bid'ah. Berikut ini petikan
fatwa-fatwa mereka yang berbeda-beda.
Bid'ah
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya terkait dengan berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab menjawab di dalam kitabnya Fatawa Nurun 'ala Ad-Darbi sebagai berikut :
Mengkhususkan hari-hari itu dengan puasa adalah bid'ah. Nabi SAW tidak pernah berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab, tidak memerintahkannya dan tidak mentaqrirnya. Maka hukumnya bid'ah. [Fatawa Nurun 'ala Ad-Darbi, jilid 11 hal. 2]
Ibnu Utsaimin ketika ditanya tentang hukum puasa pada tanggal 27 Rajab dan shalat sunnah di malam harinya, beliau pun menjawab sebagaimana yang tertuang di dalam kitabnya Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilatusysyeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin sebagai berikut :
Puasa pada hari ke 27 bulan Rajab dan bangun malam dan mengkhususkan hal itu adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah itu sesat. [Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilatusysyeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jilid 20 hal. 50]
Makruh
Ibnu Qudamah salah satu ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
Pasal Mengkhususkan Rajab Untuk Puasa : Dan dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa. Imam Ahmad berkata bahwa kalau mau seseorang berpuasa sehari dan tidak puasa sehari tetapi jangan puasa sebulan. Dasarnya adalah hadits riwayat Ahmad dari Kharsayah bin Al-Hurri, dia berkata,"Aku melihat Umar memukul telapak tangan orang yang mutarajjibin (puasa di bulan Rajab) sambil berkata,"Makanlah". Karena bulan Rajab itu bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliyah [Al-Mughni, jilid 3 hal. 171]
Al-Mardawi salah satu ulama dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya Al-Inshaf sebagai berikut :
Pendapatnya mengkhususkan puasa Rajab (sebulan penuh) hukumnya makruh. Itulah pendapat mazhab dan para pendukungnya. [ Al-Inshaf, jilid 3 hal. 346]
Sunnah
Sebagian besar ulama (jumhur) di luar
mazhab Al-Hanabilah umumnya justru menghukumi sunnah berpuasa pada bulan
Rajab. Walaupun dari sisi hadits-hadits yang tersedia banyak yang
dianggap dhaif. Namun manhaj salaf yang asli dari umat ini jelas sekali,
yaitu hadits dhaif masih bisa dijadikan sumber rujukan, khususnya
untuk fadhailul-a'mal (keutamaan).
Setidaknya jumhur ulama punya dua hujjah.
Pertama, adanya hadits yang menganjurkan untuk berpuasa sunnah. Kedua,
adanya hadits yang menganjurkan untuk puasa pada bulan-bulan haram
(mulia). Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Harits yang
bertanya kepada beliau SAW tentang puasa sunnah.
Berpuasalah
kamu di bulan kesabaran (Ramadhan), kemudian berpuasalah 3 hari
setelahnya, dan kemudian puasalah pada bulan-bulan haram”. (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Ibnu Shalah yang juga salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyyah menuliskan dalam fatwanya, Fatawa Ibnu Shalah sebagai berikut :
Tidak berdosa bagi yang berpuasa Rajab, dan tidak ada satupun ulama umat ini yang mengatakan ia berdosa dari yang kami tahu. Ya memang benar banyak ahli hadits yang mengatakan hadits-hadits rajab –secara khusus- tidak shahih. Dan ini tidak menjadikan puasa Rajab itu terlarang, karena adanya dalil-dalilnya anjuran puasa secara mutlak, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dadud dalam kitab Sunan-nya juga ulama lain dalam anjuran puasa pada bulan Rajab, dan itu cukup untuk memotivasi umat ini untuk puasa Rajab. Sedangkan hadits nyalanya api neraka Jahannam untuk mereka yang sering berpuasa Rajab, itu hadits yang tidak shahih, dan tidak dihalalkan meriwayatkannya. Wallahu a’lam. [Fatawa Ibnu Shalah, hal. 180]
Al-'Izz ibnu Abdissalam juga punya pendapat yang dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami, dimana beliau berfatwa sebagai berikut :
Orang yang melarang puasa Rajab itu jahil dari sumber-sumber hukum syariah. Bagaimana bisa puasa rajab diharamkan, sedangkan para ulama yang men-tadwin-kan syariah ini tidak satu pun dari mereka yang membenci puasa rajab tersebut. [Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, jilid 2 hal. 54]
As-Suyuth ketika menjelaskan hadits-hadits terkait
dengan puasa bulan Rajab, beliau menyimpulkan bahwa hadits-hadits itu
bukan hadits palsu, melainkan sekedar dhaif. Dan tetap dibolehkan
periwayatannya untuk keutamaan amal. Beliau menuliskan dalam fatwanya
itu pada kitab Al-Hawi lil Fatawa sebagai berikut :
Semua hadits ini bukan palsu (maudhu'), melainkan termasuk lemah (dhaif) yang dibolehkan periwayatannya untuk keutamaan (fadhail). [Al-Hawi lil Fatawa, jilid 1 hal. 419]
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam fatwanya yang terkumpul dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menuliskan sebagai berikut:
Sudah saya jelaskan tentang kesunahan puasa Rajab, dan itu sudah cukup. Adapun tindakan 'ahli fiqih' ini yang terus menerus melarang orang-orang untuk puasa Rajab, itu adalah sebuah kebodohan dan bentuk pengacak-acakan terhadap syariah yang suci ini. kalau ia tidak merujuk fatwanya tersebut, wajib hukumnya bagi para hakim syariah yang suci ini untuk melarangnya dan memberikan hukuman yang keras baginya dan juga bagi orang-orang semisalnya –yang melarang puasa Rajab- karena mereka semua sudah mengacak-acak agama Allah SWT ini [ Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, jilid 2 hal. 53]
Imam Ash-Shawi dari kalangan ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Bulghatus-Salik ketika menjelaskan tentang puasa-puasa sunnah, beliau memasukkan di dalamnya puasa Rajab.
Puasa Rajab: yakni dikuatkan (untuk kesunahan) puasa Rajab juga walaupun hadits-haditsnya dhaif, karena hadits dhaif boleh diamalkan dalam hal fadhail a’mal [Bulghatussalik, jilid 1 hal. 692]
Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar mengomentari hadits-hadits terkait dengan puasa bulan Rajab sebagai berikut :
Pemahaman yang dzahir dari hadits Usamah (bin Zayd) di atas adalah bahwa bulan Sya'ban adalah bulan yang banyak dilupakan orang yang letaknya antara bulan Rajab dan Ramadan. Dan bahwa sunnah hukumnya berpuasa pada bulan Rajab [Nailul Authar, jilid 4 hal. 292]
Jadi kesimpuannya bahwa puasa bulan
Rajab ini memang ada kalangan yang membid'ahkannya. Pendapat ini wajib
kita hormati. Namun ada juga yang tidak sampai membid'ahkannya, hanya
sebatas makruh saja. Pendapat ini juga wajib kita hormati. Dan jangan
lupa, ada juga pendapat yang membolehkan atau malah menyunnahkannya.
Pendapat yang terakhir ini pun juga wajib kita hormati.
Tidak perlu ada yang merasa paling pintar dan paling tinggi imannya,
apalagi merasa paling benar dan pendapat orang lain yang berbeda tidak
perlu dijelek-jelekkan.
Rumah Fiqih
Rumah Fiqih