Ghosip .... Maksiat Yang Tak Tersadari
Serba Serbi Terkini
Di dalam agama, ngerumpi, dalam artian
menggunjingkan orang lain, disebut ghibah. Makna ghibah dalam bahasa
Arab adalah sesuatu yang tidak tampak di depan kita, karena orang yang
tengah digunjingkan keburukannya tidak berada bersama orang yang sedang
bergunjing. Sedangkan menurut pengertian syar’i, diterangkan dalam
sebuah hadits, yaitu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat,
“Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Jawab mereka, “Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahui.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu menyebutkan
perihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.” (HR Muslim).
Berdasarkan keterangan Nabi SAW
tersebut, jika seseorang menyebutkan sesuatu yang tidak baik tentang
saudaranya, yang sekiranya jika dia mendengarnya dia akan marah, itu
adalah ghibah, baik yang fisik maupun psikis, termasuk tentang istrinya,
anaknya, orangtuanya, cara berpakaiannya, cara berjalannya, dan
sebagainya. Baik disebutkan dengan ucapan, tulisan, maupun dengan
isyarat badan. Walaupun, sesuatu yang dibicarakan itu itu benar-benar
ada pada dirinya. Jika yang dibicarakan tidak ada pada dirinya, hal itu
disebut buhtan, atau kebohongan, atau kedustaan.
Hal itu dijelaskan oleh Nabi SAW
dalam lanjutan hadist di atas, yaitu ketika para sahabat Nabi SAW
kemudian bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan tentangnya
benar-benar ada pada dirinya?” Rasulullah SAW bersabda, “Jika yang kau
katakan tentangnya ada pada dirinya, kau telah mengghibahnya. Dan jika
yang kau katakan tentangnya tidak terdapat pada dirinya, kau telah
berdusta terhadapnya.” Banyak ayat Al-Quran serta hadits Nabi SAW yang
memberikan peringatan serta ancaman terkait hal itu, sebagaimana ayat
dan hadits berikut:
لاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا. أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ،
وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya.
Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat: 12).
Sementara itu Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya di antara dosa besar adalah panjang lidah seseorang dari
kalian dalam membicarakan seseorang muslim yang (dalam pembicaraannya
itu) menjatuhkan harga dirinya.” (HR Abu Dawud).
Dalam hadits lainnya disebutkan,
Sayyidatuna Aisyah RA berkata kepada Nabi SAW, “Shafiyyah seorang wanita
yang cantik. Sayang, dia pendek.”
Maka beliau SAW bersabda, “Engkau telah
mengucapkan satu kalimat yang jika dicampur ke dalam lautan yang luas
niscaya akan mengubah rasanya.” (HR Abu Dawud dan At-Turmudzi).
Karena itu, para ulama bersepakat bahwa
hukum berghibah adalah haram. Hanya saja terdapat khilaf di antara
mereka, mengenai apakah dosa ghibah itu masuk dalam kategori dosa besar
ataukah dosa kecil. Yang jelas, haramnya berghibah berlaku bagi siapa
saja, tak terbatas hanya pada kaum wanita.
Ghibah yang Boleh
Ternyata ada juga ghibah yang
diperbolehkan, maksudnya jika melakukannya tidak menyebabkan berdosa,
yaitu salah satu dari lima hal berikut:
- Mengadukan kezhaliman seseorang. Misalnya, seseorang dizhalimi oleh orang lain. Orang yang dizhalimi kemudian mengadukannya kepada hakim dengan menyebutkan kezhaliman yang ia terima.
- Meminta fatwa hukum tertentu. Misalnya, seseorang yang bertanya kepada seorang ulama tentang hukum perbuatan yang dilakukan saudaranya.
- Meminta bantuan orang lain untuk menghilangkan sebuah kemunkaran yang tidak dapat diatasi sendiri. Misalnya, seseorang melapor kepada kepala desa tentang ulah para preman yang berbuat tak sepatutnya di sekitar tempat tinggalnya.
- Memberi peringatan akan kelakuan buruk seseorang agar terhindar dari keburukannya itu. Misalnya, seseorang bertanya tentang kebaikan serta keburukan si Fulan yang datang melamar kerabatnya. Jika si Fulan memang orang yang tidak baik, katakan apa adanya. Hal itu bukan termasuk ghibah. Asalkan, tidak menyebutkan kejelekannya secara keseluruhan, melainkan kadar yang sekiranya akan tertolak lamaran dari orang yang tak baik tersebut. Sekiranya cukup dengan menyebut si Fulan seorang yang suka mabuk, tak perlu lagi menyebutkan si Fulan juga suka berzina.
- Menyebutkan kejelekan seseorang yang justru bangga dengan kejelekannya tersebut dan bahkan suka menyebarkannya sendiri. Menggunjingkan orang semacam itu bukan termasuk ghibah yang diharamkan
Menghindari Ghibah
Dikatakan, sesuatu tidak akan
terjadi kecuali karena sebab-sebab tertentu. Maka demikian pula
seseorang yang berghibah, tentu ada sebabnya. Untuk menghindarkan diri
dari berghibah, hendaknya diketahui sebab-sebab yang membuat seseorang
melakukan ghibah.
Sebab pertamanya,
keimanan dan kewara’an yang tidak sempurna. Jika seseorang sempurna iman
dan kewara’annya, sulit baginya untuk berghibah. Fudhail bin Iyyadh RA
berkata, “Paling sulitnya pekerjaan wara’ adalah wara’nya seseorang
dalam menjaga lisanya.” Karenanya, jika seseorang bersifat wara’, dia
tak kan berghibah atau berdusta. Dari sini dapat dipetik kesimpulan,
salah satu solusi menghindari kebiasaan berghibah adalah meningkatkan
keimanan dan rasa wara’.
Kedua, karena
pertemanan yang salah. Nabi SAW bersabda, “Akhlaq seseorang ditentukan
pada siapa yang menjadi teman-temannya.” Jika seseorang berkumpul dengan
teman-teman yang salah, orang tersebut akan terbawa ke dalam pergaulan
maksiat. Jadi, hindari teman-teman yang suka bergunjing, dan carilah
teman dari orang-orang yang shalih, yang akan mengingatkan saat Anda
melakukan kemaksiatan, termasuk ghibah.
Ketiga, adanya sifat
iri dan dengki di satu sisi dan tak memiliki sifat malu pada sisi lain.
Seseorang akan cenderung menjelekkan dan menghinakan orang yang ia iri
kepadanya, karena baginya itulah jalan yang dapat melegakan hatinya
setelah dia tak dapat menghilangkan kenikmatan yang ada pada diri orang
yang ia jelek-jelekkan itu. Karena itu, solusinya, bertaqwalah kepada
Allah SWT dan malulah kepada-Nya. Jangan pernah mengira Allah SWT tidak
mengetahui apa yang kita lakukan.
Saat seseorang mempunyai rasa malu,
akan timbullah rasa taqwa yang membuatnya menjauh dari segala perbuatan
yang dilarang Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya kalian merasa malu kepada Allah SWT dengan sebaik-baik rasa malu.”
Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami semua malu kepada-Nya.”
Beliau SAW menimpali, “Bukan demikian,
tetapi jika kita benar-benar merasa malu kepada Allah SWT, hendaknya
jagalah kepala dan semua yang ada dalam kepala itu (termasuk mulut,
mata, dan lain-lain), hendaknya menjaga perut dan yang di sekitarnya
dari segala yang dilarang, selalulah mengingat kematian dan masa
kehancuran. Dan barang siapa menginginkan akhirat, hendaknya dia
tinggalkan hiasan dunia.” (HR At-Turmudzi).
Keempat, cinta dunia.
Fudhail bin Iyyadh berkata, “Tidaklah seseorang mencintai dunia kecuali
dia akan iri, dengki, dan selalu membicarakan kejelekan orang lain.”
Jadi, cara berikutnya adalah tinggalkan cinta kepada dunia yang fana
ini.
Yang terakhir, kelima,
sering bersenda gurau. Memang, biasanya kalau banyak bersenda gurau, hal
itu akan mengakibatkan banyak membicarakan orang lain. Karena itu,
kurangilah frekuensi dalam bersenda gurau, apalagi yang berujung pada
ghibah.
habib segaf baharun